Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]
Pertanyaan.
Tolong jelaskan hukum menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat
berserta dalilnya. Jelaskan pula tentang perbedaan pendapat di antara ulama
dalam masalah ini dan mana yang benar (rajih) ?
Jawaban.
Ada dua pendapat mengenai masalah ini.
Pendapat Pertama.
Menyatakan keharamannya, baik dilakukan
di dalam bangunan (WC) ataupun diluar bangunan , berdasarkan hadits dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda.
“Artinya : Apabila salah seorang diantara kalian duduk untuk buang hajat, maka
janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya” [Hadits Riwayat Muslim no. 265
dan ini lafalnya, dan Ahmad V/414,417, 421]
Begitu pula hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.
“Artinya : Apabila kalian datang ke tempat buang hajat, maka janganlah kalian
menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat besar atau kecil, tetapi
menghadaplah ke Timur atau ke Barat..” [1]
Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu berkata, “(Ketika) kami sampai di Syam lalu kami
mendapati WC-WC di sana di bangun dengan posisi menghadap Ka’bah, maka kami pun
menyerongkan posisi duduk dan kami pun beristighfar (mohon ampun) kepada Allah”
[Bukhari no. 386 dan Muslim no 264]
Muslim no. 262 meriwayatkan dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh-sungguh telah
melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat besar dan kecil”.
Pendapat Kedua.
Menyatakan bahwa harus dibedakan antara buang hajat di dalam bangunan (WC)
dengan di tempat yang terbuka. Diharamkan menghadap atau membelakangi kiblat
ketika buang hajat di tempat terbuka dan dibolehkan
ketika berada di dalam bangunan (WC) berdasarkan hadits berikut.
Hadits Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.
“Artinya : Pada suatu hari aku naik ke atas rumah Hafshah lalu terlihat olehku
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang buang hajat dengan menghadap ke
Syam dan membelakangi Ka’bah” [Hadits Riwayat Jama’ah] [2]
Hadits dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kencing
menghadap kiblat, akan tetapi setahun sebelum beliau wafat aku melihat beliau
kencing menghadap kiblat” [Hadits Riwayat Lima kecuali Nasa’i] [3]
Dan hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Disampaikan di hadapan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada sebagian orang (sahabat)
tidak suka menghadapkan kemaluan mereka ke arah kiblat, maka beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Atau banar-benara mereka telah melakukan hal itu. Maka ubahlah
tempat duduk-ku (di WC) dengan menghadap kiblat” [Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu
Majah] [4]
Begitu pula hadits dari Marwan Al-Ashfar, dia berkata, “Aku melihat Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘anhu menderumkan (mendudukkan) untanya menghadap kiblat lalu
beliau kencing sedang beliau juga menghadap kiblat, maka aku bertanya, ‘Wahai
Abu Abdurrahman, bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
melarang hal itu ?’ Beliau menjawab, ‘Memang betul, tetapi beliau melarang hal
itu (dilakukan) di tanah yang lapang. Kalau di antara kamu dan kiblat itu ada
sesuatu yang menutupi, maka tidak mengapa” [Hadist Riwayat Abu Daud no 11.
Lihat Shahih Abu Daud no.8]
Adapun pendapat yang rajih (benar) menurut saya (Syaikh Abdul Aziz Al-Muhammad As-Salman)
adalah mengamalkan hadits Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu karena itu yang lebih
berhati-hati, yaitu menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat besar
atau kecil di dalam bangunan atau di luar bangunan (tempat terbuka) adalah
haram.
[Pendapat in juga telah dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu
Al-Qayyim menjelasakan bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam (buang hajat dengan menghadap kiblat) adalah merupakan
kekhususan beliau. Disamping itu, ada kaidah yang berbunyi, “Apabila
bertentangan antara ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perbuatan
beliau, maka yang didahulukan adalah ucapannya”. Contoh yang lain adalah beliau
membatasi umatnya menikah tidak boleh lebih dari empat (yaitu lewat ucapannya),
padahal beliau sendiri menikah dengan sembilan wanita (dan ini adalah
perbuatannya), maka yang didahulukan adalah ucapannya]
[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi
Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa
04/I/Dzulqa’adah 1423H -2003M]
_________
Foote Note.
[1] Di Indonesia, menghadap ke Utara dan Selatan, karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengucapkan hadits ini di Madinah yang kiblatnya (Ka’bah) ada
di arah Selatan, -Red
[2] Bukhari no. 147 dan 2935, Muslim no.266, Abu Daud no.12, At-Tirmidzi no.11,
An-Nasa’i no. 23, Ibnu Majah no. 322, Ahmad II/12,13, Malik dalam Al-Muwaththa’
no. 456 dan Ad-Darimi I/179
[3] Ahmad II/360, Abu Daud no.13 At-Tirmidzi no.9 dan Ibnu Majah no 324. Lihat
Shahih Abu Daud no. 10 dan Shahih Ibnu Majah no. 261
[4] Ahmad VI/219,227, Ibnu Majah no.324, Lihat Dha’if Ibnu Majah no. 68 dan
Adh-Dhaifah no.947
Tidak ada komentar:
Posting Komentar