c

c2

BELAJAR DENGAN SUNGGUH 2 | KREATIF | TIDAK MUDAH PUTUS ASA | MENERIMA MASUKAN | SPORTIF | NASIONALIS | AGAMIS

Sabtu, 18 Januari 2014

10. Adab Siwak [Gosok Gigi]

Oleh

Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman

Pertanyaan.

Apa hukum bersiwak ? Apakah waktunya terbatas ?

Jawaban.

Bersiwak itu sunnah dilakukan pada setiap waktu berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : bersiwak itu sebagai pembersih mulut dan diridhai oleh Allah” [Hadits Riwayat Ahmad VI/47,62,124. An-Nasa’i no.5 dan Bukhari menyebutkannya secara ta’liq dalam bab As-Siwak Ar-Ruthbu wa Al-Yabisu Li Ash-Shaim II/682]

Dan hadits dari Amir bin Rubai’ah, dia berkata,

“Artinya : Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (berulang kali) –hingga aku tidak bisa menghitungnya- bersiwak padahal beliau sedang berpuasa” [Hadits Riwayat Ahmad III/445, Abu Dawud no. 2364 dan At-Tirmidzi no. 725 dan Bukhari menyebutkannya secara mu’allaq dalam Bab As-Siwak Ar-Rathbu Wa Al-Yabisu Li Ash-Shaim]

Pertanyaan.

Waktu-waktu kapan sajakah diutamakan bersiwak ? Sebutkan dengan jelas dan sertakan dalil-dalilnya!

Jawaban.

Waktu yang diutamakan untuk bersiwak adalah ketika bangun tidur, ketika berwudhu, ketika hendak masuk rumah, ketika hendak shalat, ketika hendak masuk masjid, ketika bau mulut berubah (tidak sedap) dan ketika hendak membaca Al-Qur’an.

Adapun dalil keutamaan bersiwak ketika bangun tidur adalah berdasarkan hadits Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.

“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bangun malam membersihkan mulutnya denga siwak” [Hadits Riwayat Bukhari no.42, 1085, Muslim no. 255. Abu Dawud no.55. An-Nasa’i no. 2, 1622 dan Ibnu Majah no. 286]

Dan hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata.

“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tidur pada malam hari atau siang hari kemudian beliau bangun melainkan beliau pasti gosok gigi terlebih dahulu sebelum berwudhu” [Hadits Riwayat Abu Daud no. 57 dan Lihat Shahih Abu Dawud I/14 no. 51]

Adapun dalil ketika bau mulut berubah tidak sedap adalah karena memang disyariatkannya bersiwak itu untuk menghilangkan bau yang tidak sedap. Adapun dalil ketika hendak wudhu adalah berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Kalaulah tidak akan memberatkan umtaku, tentulah kuperintahkan kepada mereka supaya gosok gigi pada tiap-tiap berwudhu” [Hadits Riwayat Malik, Ahmad, dan Nasa’i dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, sedang Imam Bukhari menyebutkan secara ta’liq] [2]

Adapun dalil ketika hendak shalat adalah berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Artinya : Kalaulah tidak akan memberatkan umatku, tentulah telah diperitahkan kepada mereka supaya bersiwak pada tiap-tiap akan shalat” [Hadits Riwayat Jama’ah] [3]

Adapun dalil ketika hendak masuk masjid dan rumah adalah berdasarkan hadits Al-Miqdad bin Syuraih yang diriwayatkan dari Syuraih, dia berkata, “ Aku bertanya kepada Aisyah, “Apa yang pertama kali dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika telah masuk rumah ?” Aisyah menjawab, ‘Bersiwak’ [Hadits Riwayat Jama’ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi] [4]. Dan Masjid lebih utama dari pada rumah.

[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 04/I/Dzulqa’adah 1423H -2003M]

_________

Foote Note

[1] Asalnya gosok gigi dengan menggunakan kayu siwak (yaitu al-arok). Namun jika tidak ada, maka bisa dengan apa saja yang dapat membersihkan gigi dan mulut seperti sikat dan pasta gigi, sapu tangan dan semisalnya.

[2] Malik I/66. Ahmad II/460 dan lainnya. An-Nasa’i (As-Sunan Al-Kubro) no. 3037, 3043 dan Bukhari secara ta’liq dalam Bab As-Siwak Ar-Rathbu wa Al-Yabisu Li Ash-Shaim.

[3] Bukhari no.847. Muslim no. 252. Abu Daud no. 46. At-Tirmidzi no.23. An-Nasa’i no.7. Ibnu Majah no. 287.

[4] Muslim no. 253. Abu Daud no.51. An-Nasa’i no.8. Ibnu Majah no.290

Description: JJ

9. Salafus Shalih Menilai Seseorang Dengan Melihat Teman Dekatnya

Diambil dari Message: 18      

   Date: Wed, 16 Feb 2005 05:48:12 -0800 (PST)

   From: La Adri <tilmidzi@yahoo.com>

Subject: sahabat, tanyakan pada dirimu siapakah teman dekatmu ?

  Abu Qilabah berkata :

penyair yang mengucapkan syair : Janganlah bertanya siapa dia tapi tanyakan siapa temannya Karena setiap orang akan meniru temannya

Ucapan Abu Qilabah (Qaatalallahu) ini adalah ungkapan yang menunjukkan kekagumannya dengan bait syair tersebut dan ini adalah syairnya Ady bin Zaid Al Abadiy.

Al Ashma’iy berkata : “Saya belum pernah menemukan satu bait syair yang paling menyerupai As Sunnah selain ucapan Ady ini.”

Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“(Agama) seseorang (dikenal) dari agama temannya maka perhatikanlah siapa temanmu.” (As Shahihah 927)

Ibnu Mas’ud berkata :

“Nilailah seseorang itu dengan siapa ia berteman karena seorang Muslim akan mengikuti Muslim yang lain dan seorang fajir akan mengikuti orang fajir yang lainnya.” (Al Ibanah 2/477 nomor 502 dan Syarhus Sunnah Al Baghawi 13/70)

Dan ia berkata :

“Seseorang itu akan berjalan dan berteman dengan orang yang dicintainya dan mempunyai sifat seperti dirinya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 499)

Beliau melanjutkan : “Nilailah seseorang itu dengan temannya sebab sesungguhnya seseorang tidak akan berteman kecuali dengan orang yang mengagumkannya (karena seperti dia).” (Al Ibanah 2/477 nomor 501)

Abu Darda mengatakan :

“Tanda keilmuan seseorang (dilihat) dari jalan yang ditempuhnya, tempat masuknya, dan majelisnya.” (Al Ibanah 2/464 nomor 459-460)

Yahya bin Abi Katsir mengatakan, Nabi Sulaiman bin Daud Alaihis Salam bersabda :

“Jangan menetapkan penilaian terhadap seseorang sampai kamu memperhatikan siapa yang menjadi temannya.” (Al Ibanah 2/480 nomor 514)

Musa bin Uqbah Ash Shuriy tiba di Baghdad dan hal ini disampaikan kepada Imam Ahmad bin Hanbal lalu beliau berkata : “Perhatikan dimana ia singgah dan kepada siapa dia berkunjung.” (Al Ibanah 2/479-480 nomor 511)

Qatadah berkata :

“Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang memang menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.” (Al Ibanah 2/477 nomor 500)

Syu’bah berkata, aku dapati tulisan dalam catatanku (menyatakan) bahwasanya seseorang akan berteman dengan orang yang ia sukai. (Al Ibanah 2/452 nomor 419-420)

Al Auza’iy berkata :

“Siapa yang menyembunyikan bid’ahnya dari kita tidak akan dapat menyembunyikan persahabatannya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 498)

 Al A’masy mengatakan :

“Biasanya Salafus Shalih tidak menanyakan (keadaan) seseorang sesudah (mengetahui) tiga hal yaitu jalannya, tempat masuknya, dan teman-temannya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 498)

Ayyub As Sikhtiyani diundang untuk memandikan jenazah kemudian beliau berangkat bersama beberapa orang. Ketika penutup wajah jenazah itu disingkapkan beliau segera mengenalinya dan berkata : “Kemarilah --kepada-- temanmu ini, saya tidak akan memandikannya karena saya pernah melihatnya berjalan dengan seorang ahli bid’ah.” (Al Ibanah 2/478 nomor 503)

Abdullah bin Mas’ud berkata :

“Nilailah tanah ini dengan nama-namanya dan nilailah seorang teman dengan siapa ia berteman.” (Al Ibanah 2/479 nomor 509-510)

Muhammad bin Abdullah Al Ghalabiy mengatakan :

“Ahli bid’ah itu akan menyembunyikan segala sesuatu kecuali persatuan dan persahabatan (di antara mereka).” (Al Ibanah 1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518)

Mu’adz bin Mu’adz berkata kepada Yahya bin Sa’id :

“Hai Abu Yahya, seseorang walapun dia menyembunyikan pemikirannya tidak akan tersembunyi hal itu pada anaknya tidak pula pada teman-temannya atau teman duduknya.”

Amru bin Qais Al Mulaiy berkata :

“Jika kamu lihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli Sunnah wal Jamaah harapkanlah dia dan bila ia tumbuh bersama ahli bid’ah berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya. Karena pemuda itu bergantung di atas apa yang pertama kali ia tumbuh dan dibentuk.” (Al Ibanah 1/205 nomor 44 dan 2/482 nomor 518)

Ia --juga-- mengatakan : “Seorang pemuda itu benar-benar akan berkembang maka jika ia lebih mementingkan duduk dengan Ahli Ilmu ia akan selamat dan jika ia condong kepada yang lain ia akan celaka.”

Ibnu Aun mengatakan :

“Siapa pun yang duduk dengan ahli bid’ah ia lebih berbahaya bagi kami dibanding ahli bid’ah itu sendiri.” (Al Ibanah 2/273 nomor 486)

Ketika Sufyan Ats Tsaury datang ke Bashrah melihat keadaan Ar Rabi’ bin Shabiih dan kedudukannya di tengah ummat, Yahya bin Sa’id Al Qaththan berkata : “Ia bertanya apa madzhabnya?” mereka menjawab bahwa madzhabnya tidak lain adalah As Sunnah, ia berkata lagi : “Siapa teman baiknya?” mereka menjawab : “Qadary.”  Beliau berkata : “Berarti ia seorang Qadariy.” (Al Ibanah 2/453 nomor 421)

Ibnu Baththah berkata : [ Semoga Allah merahmati Sufyan Ats Tsauri, ia sungguh telah berbicara dengan Al Hikmah maka alangkah tepat ucapannya itu dan ia juga telah berkata dengan ilmu yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah serta apa-apa yang sesuai dengan hikmah, realita, dan pemahaman Ahli Bashirah, Allah berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang bukan golonganmu (sebab) mereka senantiasa menimbulkan bahaya bagi kamu dan mereka senang dengan apa yang menyusahkanmu.” (QS. Ali Imran : 118) ]

Imam Abu Daud As Sijistaniy berkata, saya berkata kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (jika) saya melihat seorang Sunniy bersama ahli bid’ah apakah saya tinggalkan ucapannya? beliau menjawab : “Tidak. Sebelum kamu terangkan kepadanya bahwa orang yang kamu lihat bersamanya itu adalah ahli bid’ah. Maka jika ia menjauhinya, tetaplah bicara dengannya dan jika tidak mau gabungkan saja dengannya (anggap saja ia ahli bid’ah). Ibnu Mas’ud pernah berkata, seseorang itu (dinilai) siapa teman dekatnya.” (Thabaqat Hanabilah 1/160 no 216)

Ibnu Taimiyyah mengatakan :

“Dan siapa yang selalu berprasangka baik terhadap mereka (ahli bid’ah) --dan mengaku belum mengetahui keadaan mereka-- kenalkanlah ahli bid’ah itu padanya maka jika ia telah mengenalnya namun tidak menampakkan penolakan terhadap mereka, gabungkanlah ia bersama mereka dan anggaplah ia dari kalangan mereka juga.” (Al Majmu’ 2/133)

Utbah Al Ghulam berkata :

“Barangsiapa yang tidak bersama kami maka dia adalah lawan kami.” (Al Ibanah 2/437 nomor 487)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Ruh-ruh itu adalah juga sepasukan tentara maka yang saling mengenal akan bergabung dan yang tidak mengenal akan berselisih.” (HR. Al Bukhary 3158 dan Muslim 2638)

Al Fudlail bin Iyyadl mengomentari hadits ini dengan berkata : “Tidak mungkin seorang Sunniy akan berbasa-basi kepada ahli bid’ah kecuali jika ia dari kalangan munafiq.” (Lihat Ar Rad Alal Mubtadi’ah li Ibni Al Banna)

Ibnu Mas’ud berkata :

“Jika seorang Mukmin memasuki mesjid yang di dalamnya berkumpul 100 orang dan yang muslim hanya satu ia tentu akan masuk ke dalamnya lalu duduk di dekatnya dan jika seorang munafiq memasuki mesjid yang di dalamnya berkumpul 100 orang dan hanya terdapat satu orang munafiq juga ia akan tetap masuk dan duduk di dekatnya.”

Hammad bin Zaid mengatakan, Yunus berkata kepadaku :

“Hai Hammad, sesungguhnya jika saya melihat seorang pemuda berada di atas perkara yang mungkar saya tetap tidak akan berputus-asa mengharapkan kebaikannya kecuali bila saya melihatnya duduk bersama ahli bid’ah maka ketika itu saya tahu kalau dia binasa.” (Al Kifayah 91, Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349)

Ahmad bin Hanbal berkata :

“Jika kamu melihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli Sunnah wal Jamaah maka harapkanlah (kebaikannya) dan jika kamu lihat dia tumbuh bersama ahli bid’ah maka berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya. Karena sesungguhnya pemuda itu tergantung di atas apa ia pertama kali tumbuh.” (Al Adabus Syari’ah Ibnu Muflih 3/77)

Dlamrah bin Rabi’ah berkata, (saya mendengar) dari Ibnu Syaudzab Al Khurasaniy berkata :

“Sesungguhnya di antara kenikmatan yang Allah berikan kepada para pemuda ialah ketika ia beribadah dan bersaudara dengan seorang Ahli Sunnah. Dan ia akan bergabung bersamanya di atas As Sunnah.” (Al Ibanah 1/205 nomor 43 dan Ash Shughra 133 nomor 91 dan Al Lalikai 1/60 nomor 31)

Dari Abdullah bin Syaudzab dari Ayyub ia berkata :

“Termasuk kenikmatan bagi seorang pemuda dan orang-orang non Arab ialah jika Allah menurunkan taufiq kepada mereka untuk mengikuti orang yang berilmu di kalangan Ahli Sunnah.” (Al Lalikai 1/60 nomor 30)

(Sumber : kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma'tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Edisi Indonesia Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits, Pengantar Ustadz Muhammad Umar As Sewwed)

MENEBAR ILMU

Dan tegakkan sunnah

8. Nasehat dan adab dalam bergaul dan.bersahabat



Diambil dari mailing list salafiyyin@yahoogroups.com

Message: 5       

   Date: Sat, 19 Feb 2005 01:55:18 -0800 (PST)

   From: La Adri <tilmidzi@yahoo.com>

Subject: sahabat, maukah engkau...menjadi sahabatku..??

Yahya bin Mu'adz berkata :

[ Sejelek-jelek saudara adalah yang kamu sampai butuh mengatakan :

"Ingatlah saya dalam doamu ... ."

Dan sebagian besar manusia pada hari ini hanya saling mengenal jarang ada yang berteman secara zhahir apalagi persaudaraan dan persahabatan. Ini adalah sesuatu yang telah lenyap. Maka janganlah kamu terlalu mengharapkannya. Saya tidak tahu ada seseorang yang murni bersahabat dengannya saudaranya senasab (keturunan) juga anak dan isterinya maka tinggalkanlah keinginan untuk mencari persahabatan yang murni dan tulus. Jadilah orang yang asing dan bergaullah sebagaimana bergaulnya Al Ghuraba'. Dan berhati-hatilah kamu (jangan) tertipu oleh orang yang menampakkan rasa cinta kepadamu karena sesungguhnya seiring perjalanan waktu akan tampak olehmu cacat cinta yang ditunjukkannya.

Dan Al Fudlail bin Iyyadl berkata :

"Jika kamu ingin berteman dengan seseorang maka buatlah agar ia marah maka jika kamu lihat keadaannya sesuai dengan syari'at maka bertemanlah dengannya."

Situasi saat ini sangat mengerikan sebab jika kamu membuatnya marah maka ia akan menjadi musuhmu saat itu juga. Adapun penyebab hilangnya persahabatan yang murni adalah kecintaan terhadap dunia yang menguasai hati. Sedangkan Salafus Shalih, perhatian mereka senantiasa hanya tertuju kepada akhirat maka mereka pun memurnikan niat dalam mencari saudara dan mereka bergaul dengan sesamanya karena agama bukan karena dunia. Maka jika kamu lihat berkaitan dengan masalah agama maka ujilah ketika ia marah. ] (Adabus Syari'ah 3/581)

Al Qadii Abu Ya'la berkata :

[Jika kamu berjalan janganlah menoleh-noleh karena pelakunya dapat dikatakan sebagai orang yang tolol.

Syaikh Abdul Qadir berkata : "Bersiul dan bertepuk tangan adalah dua hal yang dibenci. Begitu pula bersandarnya seseorang hingga keluar dari posisi duduknya sebab hal itu adalah tindakan kesombongan dan menghina teman duduk kecuali karena uzur dan juga dibenci menggigit-gigit (permen) karet karena ini adalah perbuatan yang rendah. Juga dibenci tertawa terbahak-bahak dan meninggikan suara tanpa ada kepentingannya. Dan sepantasnya seseorang itu berjalan dengan sederhana (seimbang-tenang, pent.) tidak perlu terburu-buru sehingga menabrak orang lain dan menyusahkan diri sendiri. Jangan pula berjalan selangkah demi selangkah yang dapat menimbulkan rasa bangga terhadap diri sendiri. Dan termasuk pula perkara yang dibenci adalah menangis meratap-ratap dan menyanyikan lagu-lagu kematian kecuali jika itu karena takut kepada Allah Ta'ala dan menyesal karena kehilangan waktu yang sia-sia (tanpa amal) yang juga merupakan perbuatan yang dibenci adalah membuka tutup kepala di tengah-tengah manusia

 dan bagian tertentu yang bukan aurat namun biasanya tertutup." ] (Adabus Syari'ah 3/375)

Al Fudlail berkata :

"Saya lihat jiwaku ini ramah bergaul dengan mereka yang dinamakan teman maka saya cari dari pengalaman ternyata kebanyakan mereka adalah orang-orang yang iri (dengki) terhadap nikmat (kebahagiaan) temannya dan mereka tidak menyembunyikan kekeliruan (zallah) temannya dan senang mengabaikan hak teman duduknya juga tidak mau membantu temannya dengan harta mereka maka sebab itu (ketika) saya perhatikan perkara ini ternyata kebanyakan teman itu iri (dengki) dengan kenikmatan orang lain. Padahal Al Haq (Allah) Yang Maha Suci sangat cemburu kepada hati seorang Mukmin yang cenderung jinak dengan sesuatu (selain Allah) maka Ia keruhkan dunia dan penghuninya agar si Mukmin hanya menyenangi-Nya (jinak kepada Allah).

Maka sepantasnya kamu menganggap semua makhluk itu sebagai kenalan dan jangan kamu tampakkan rahasiamu kepada mereka. Jangan kamu anggap sahabat orang yang tidak cocok untuk digauli tetapi pergaulilah mereka secara zhahir. Jangan bercampur dengan mereka kecuali dalam keadaan darurat dan itupun sejenak saja kemudian tinggalkanlah mereka. Setelah itu hadapilah urusanmu sambil berserah diri kepada Penciptamu (Allah) sebab sesungguhnya tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Allah dan tidak ada yang dapat menolak kejelekan kecuali Dia." (Al I'tisham 1/158)

Ia juga berkata :

"Apabila terjadi kekasaran di antara kamu dan seseorang maka berhati-hatilah kamu darinya jangan kamu harapkan persahabatan yang murni dan mempercayainya sebab sesungguhnya dia akan selalu memperhatikan tindak-tandukmu sedangkan kedengkiannya tersembunyi. Adapun orang yang awam maka menjauh dari mereka merupakan keharusan. Karena mereka tidak termasuk jenismu maka jika kamu terpaksa duduk bersama dalam majelis mereka maka (lakukanlah) sesaat saja dan jagalah kewibawaan dan kewaspadaanmu sebab bisa jadi kau mengucapkan satu kata dan mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang keji. Jangan kau menyuguhkan ilmu kepada orang yang jahil dan (jangan pula) kamu suguhkan orang-orang yang lalai (suka bermain-main) dengan fiqih dan orang yang dungu dengan keterangan (Al Bayan) tapi perhatikanlah apa yang menyelamatkan mereka dengan lemah-lembut dan berwibawa. Jangan meremehkan musuh-musuhmu karena mereka mempunyai tipu daya yang tersembunyi dan kewajibanmu hanyalah bergaul dan berbuat baik

 kepada mereka secara zhahir. Dan termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang dengki maka tidak pantas mereka mengetahui nikmat yang kamu dapatkan. Dan sesungguhnya Al Ain itu haq sedangkan bergaul dengan mereka secara zhahir itu harus." (Al Hujjah 1/304)

Asy Syathibi berkata :

"Asal kerusakan ini --yaitu mencerca Salafus Shalih-- datang dari Khawarij merekalah yang pertama melaknat Salafus Shalih bahkan mengkafirkan shahabat --radliyallahu anhum ajmaiin-- dan perbuatan yang seperti ini semuanya menimbulkan permusuhan dan kebencian." (Al I'tisham 1/158)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

"Tidak ada seorangpun yang berhak menjadikan orang tertentu sebagai panutan lalu mengajak manusia ke jalan (madzhabnya), bersikap loyal dan memusuhi di atas jalan itu selain Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan tidak pula ada yang berhak melahirkan ucapan yang dijadikan pegangan (pedoman) untuk bersikap loyal dan memusuhi selain Kalam Allah dan ucapan Rasul-Nya dan apa yang telah disepakati oleh ummat (shahabat). Sebab hal itu tidak lain merupakan perbuatan ahli bid'ah yang senang mengangkat orang tertentu dan melontarkan suatu perkataan yang justru pada akhirnya memecah belah ummat. Mereka menyerahkan loyalitasnya demi pendapat tersebut atau yang mereka nisbatkan (sandarkan) diri mereka kepadanya dan memusuhi orang lain demi membela pendapat dan penisbatan tersebut." (Majmu' Fatawa 20/164)

Umar bin Abdul Aziz berkata :

"Jika kamu lihat satu kaum berbisik-bisik dengan satu urusan tanpa diikuti (diketahui) oleh khalayak ramai berarti mereka di atas landasan kesesatan." (Ad Darimy 1/103 nomor 307)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

"Adapun jika mereka berpindah dari satu madzhab ke madzhab lainnya karena perintah agama misalnya telah jelas baginya keterangan yang lebih kuat lalu ia kembali berpegang dengan pendapat yang ia pandang lebih dekat kepada apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya maka ia diberi pahala dengan sikap yang demikian akan tetapi wajib bagi setiap orang untuk tidak menyimpang atau mengikuti siapapun yang menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya apabila telah jelas baginya ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan ketaatan kepada Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di atas ketaatan kepada siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun." (Fatawa Al Kubra 5/96)

Umar bin Al Khaththab berkata :

"Sesungguhnya saya benci kepada orang yang berjalan sia-sia yaitu tidak karena urusan dunia dan tidak pula akhirat." (Adabus Syariah 3/588)

Ibnu Mas'ud berkata :

"Sungguh saya benar-benar membenci orang yang kosong tidak beramal untuk dunia dan tidak pula untuk akhirat." (Bayan Fadlli Ilmis Salaf halaman 38)

Ibnul Atsir berkata :

"Sesungguhnya meninggalkan ahli ahwa dan ahli bid'ah terus berlangsung seiring perjalanan masa selama mereka tidak menampakkan taubat dan kembali kepada yang haq." (An Nihayah 5/245)

Ibnu Umar berkata :

"Saya tidak mengetahui satu perkara di dalam Islam ini yang menurutku lebih utama daripada selamatnya hatiku dari hawa nafsu yang suka berselisih ini." (Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah 1/304)

Abu Abdillah Jamal bin Farihan berkata :

"Saya pun tidak mengetahui satu perkara di dalam agama Islam ini yang menurutku lebih utama daripada aku diselamatkan Allah dari sikap fanatik golongan yang sangat dibenci ini yang menelan kurban dari kalangan pemuda dan sebagian para dai di masa kini dan fanatisme itu juga telah mengotori pikiran mereka dan menghalangi mereka dari manhaj Salafus Shalih."

Ayyub bin Al Qariyyah berkata :

"Orang yang paling berhak mendapatkan penghormatan ada tiga yaitu ulama, saudara (sesama Mukmin), dan para penguasa maka siapa yang meremehkan ulama berarti ia merusak kepribadiannya sendiri dan siapa meremehkan penguasa berarti ia merusak dunianya dan orang yang berakal itu tidak akan meremehkan siapapun, adapun yang disebut sebagai orang yang berakal adalah orang yang menjadikan agama itu sebagai dasar syariatnya dan kesantunan adalah wataknya sedangkan logika yang baik adalah pembawaannya." (Jami' Bayanil Ilmi Ibnu Abdil Barr 231)

Diriwayatkan dari Aly bin Abi Thalib bahwa ia berkata :

[ Di antara hak-hak orang yang berilmu yang harus kamu penuhi adalah jika kamu mendatanginya berilah salam khusus untuknya lalu untuk seluruhnya kemudian duduklah di hadapannya dan jangan memberi isyarat dengan tanganmu dan jangan memandangnya dengan remeh dan jangan berkata : "Si Fulan mengatakan pendapat yang berbeda dengan pendapat Anda!"  Dan jangan menarik pakaiannya, jangan mendesak dalam bertanya karena sesungguhnya kedudukannya bagaikan kurma yang masih basah yang akan selalu jatuh kepadamu. ]

Imam An Nawawi berkata :

"Dalam hadits ini [sikap Ibnul Mughaffal yang meninggalkan shahabatnya yang menolak (tetap melempar) sesudah dilarangnya padahal telah disampaikannya sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam] terdapat pelajaran tentang bolehnya meninggalkan ahli bid'ah dan kefasikan serta orang-orang yang menolak As Sunnah padahal ia telah mengetahuinya. Bahkan sesungguhnya boleh pula meninggalkan (menjauhi)nya selama-lamanya." (Syarh Shahih Muslim 13/106)

Dikatakan kepada Imam Al Mizzy : "Si Fulan membencimu!"

Ia menjawab : "Dekat kepadanya bukanlah keramahan dan jauh darinya bukanlah sesuatu yang menakutkan." (Adabus Syari'ah 3/575)

Al Ashma'i berkata, Abu Amru bin Al Ala' berkata kepadaku :

"Wahai Abdul Malik, berhati-hatilah kamu terhadap orang yang mulia jika kamu menghinanya dan terhadap si pencela jika kamu memuliakannya, serta waspadalah terhadap orang yang berakal jika kamu menyulitkannya, juga terhadap orang yang tolol jika kamu bergurau dengannya. Dan berhati-hatilah kamu terhadap orang yang jahat jika kamu bergaul dengannya dan bukanlah termasuk adab (akhlak yang baik, ed.) menjawab orang yang tidak menanyaimu atau kamu bertanya pada orang yang tidak dapat menjawab atau kamu berbicara dengan orang yang tidak mau diam memperhatikan (ucapan)mu."

Umar bin Abdul Aziz berkata :

"Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu (Salafus Shalih) itu berhenti di atas dasar ilmu dengan bashirah yang tajam (menembus) mereka, menahan (dirinya), dan mereka lebih mampu dalam membahas sesuatu jika mereka ingin membahasnya." (Bayan Fadlli Ilmis Salaf 38)

Ibnu Rajab berkata :

"Dan sungguh orang yang datang belakangan lebih banyak terfitnah dalam perkara ini. Mereka menyangka bahwa orang yang banyak ucapannya, debatnya ataupun bantahannya dalam masalah agama adalah orang yang paling berilmu dibanding orang yang tidak seperti itu maka ini sesungguhnya benar-benar kebodohan yang murni, coba perhatikan para pembesar shahabat dan ulama mereka seperti Abu Bakr, Umar, Aly, Mu'adz, Ibnu Mas'ud, dan Zaid bin Tsabit radliyallahu anhum, bagaimana keadaan mereka padahal ucapan mereka lebih ringkas dari ucapan Ibnu Abbas dan mereka jelas lebih alim dibanding Ibnu Abbas. Begitu pula dengan para tabi'in, ucapan mereka lebih banyak daripada ucapan para shahabat sedangkan para shahabat lebih alim dibandingkan mereka juga para tabi'ut tabi'in, ucapan mereka lebih banyak daripada ucapan para tabi'in namun para tabi'in lebih alim (berilmu) dari mereka. Jadi jelaslah bahwa ilmu tidak diukur dengan banyaknya periwayatan apalagi pendapat akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang

 diletakkan Allah di dalam hati seorang hamba sehingga ia dapat mengenal yang haq dan membedakannya dari yang bathil serta mampu menerangkan yang haq itu dengan ungkapan-ungkapan yang ringkas dan tepat menurut tujuannya."

Begitu pula para ulama Rabbani seperti Syaikh Al Allamah Abdul Aziz bin Baaz, Al Albani, Al Utsaimin, dan Syaikh Shalih Al Fauzan. Ucapan mereka lebih ringkas dibandingkan ucapan orang-orang yang menjuluki diri sendiri sebagai dai padahal mereka memenuhi isi kaset ceramah mereka dengan berbagai ungkapan yang panjang lebar (bertele-tele, pent.) sedangkan beliau-beliau ini jauh lebih alim daripada mereka.

Ibnu Rajab berkata :

[ Maka wajib diyakini bahwa tidaklah setiap orang yang luas pembahasan dan perkataannya dalam masalah ilmu lebih alim dari orang yang tidak demikian keadaannya. Dan sungguh kita pernah diuji dengan kebodohan sebagian manusia yang meyakini bahwa luasnya pembahasan orang-orang yang datang belakangan menunjukkan mereka lebih berilmu daripada orang-orang yang terdahulu. [Seperti ungkapan mereka : "Perkataan Khalaf (orang-orang yang datang belakangan itu lebih berhikmah (ahkam), berilmu (a'lam) dan lebih selamat (aslam). Tidakkah mereka tahu apa bedanya bintang tsurayya dan apa yang di bawah (tahta) ats tsara?? Setiap kebaikan (hanya) dengan mengikuti Salaf, pent.] ]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

"Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan madzhab Salafus Shalih, menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib menerimanya dengan (menurut) kesepakatan para ulama karena sesungguhnya madzhab Salafus Shalih itu tidak lain hanyalah kebenaran." (Al Fatawa 4/149)

(Sumber : kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma'tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Edisi Indonesia Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits, Pengantar Ustadz Muhammad Umar As Sewwed)

7. Istinja Dan Adab-Adab Buang Hajat 3/3

Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman
Bagian Terakhir dari Tiga Tulisan [3/3]



Pertanyaan.
Bagaimana hukum buang hajat kecil atau buang hajat besar di jalan umum (manusia) atau di perteduhan (seperti bawah pohon atau di halte bus) dan apa dalilnya ? Jelaskan dan sertakan dalil tentang itu ! Dan apakah boleh dilakukan dalam kondisi tertentu ?

Jawaban
Hukumnya adalah haram berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Jauhilah dua (perbuatan) yang menyebabkan laknat, yaitu buang hajat (besar/kecil) di jalan umum atau diperteduhan mereka” [Hadits Riwayat Muslim 269]

Dan dari Abu Sa’id Al-Himyari dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Jauhilah tiga tempat penyebab laknat ; buang hajat besar di saluran-saluran air, di jalan-jalan umum, dan di perteduhan” [Hadits Riwayat Abu Dawud 26, dan Ibnu Majah 328]

Ibnu Majah berkata : “Hadits ini mursal [1] dan tidak diharamkan buang hajat (besar dan kecil) di tempat berkumpulnya manusia untuk perkara-perkara yang haram seperti tempat ghibah, judi, minum-muniman keras, tempat mendengarkan alat-alat musik dan tempat-tempat maksiat lainnya”

Pertanyaan.
Jelaskan tentang hukum kencing di lubang, di air yang mengalir, di tanah yang merekah, di air yang tenang, dan di tempat mandi, dan sebutkan dalilnya !

Jawaban.
Hukumnya makruh. Dalilnya adalah hadits dari Qatadah Radhiyallahu ‘anhu dari Abdullah bin Sarjas Radhiyallahu ‘anhu dia berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang kencing di suatu lubang, “Mereka bertanya kepada Qatadah, ‘Apa yang menyebabkan dilarang kencing di lobang ?’ Beliau berkata, ‘Dikatakan lobang itu merupakan tempat tinggal jin” [Hadits Riwayat Ahmad V/82, Abu Dawud 29 dan Nasa’i 34]

Adapun dalil tentang makruhnya kencing di air yang tidak mengalir dan di tempat mandi adalah hadits riwayat dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau telah melarang seseorang itu kencing di air yang tenang. [Hadits Riwayat Ahmad II/288,532, III/341,350, Muslim 281, Nasa’i 35,221 dan 339 dan Ibnu Majah 343 dan 344]

Dan dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Janganlah salah seorang diantara kamu kencing di tempat mandinya kemudian mandi atau wudhu di tempat tersebut karena sesungguhnya umumnya ganguan (was-was) itu dari situ” [Hadits riwayat Abu Daud 27, Tirmidzi 21 dan Nasa’i 36, Akan tetapi Tirmidzi dan Nasa’i tidak menyebutkan lafal : “Kemudian mandi atau wudhu di tempat tersebut]

Pertanyaan.
Bagaimana hukum mempersiapkan batu untuk ber-istinja dan mencari tempat yang lunak untuk kencing ?

Jawaban.
Hukumnya adalah sunnah berdasarkan hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Apabila salah seorang di antara kalian pergi buang hajat maka hendaklah dia bersuci dengan tiga batu itu karena sesungguhnya (bersuci dengan tiga batu itu) sudah bersih” [Hadits Riwayat Ahmad VI/108. Abu Dawud no. 40, Nasa’i 44 dan Daruquthni I/54. Dan asal perintah menggunakan tiga batu ada dalam riwayat Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu hadits no. 155. Daruquthni berkata, “Sanadnya Hasan Shahih”]

Dan dari Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Pada suatu hari kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau hendak buang hajat maka beliaupun menuju asas (fondasi) dinding lalu kencing (di situ). Setelah itu beliau bersabda,

“Artinya : Apabila salah seorang di antara kamu kencing, maka hendaknya dia menghindari air kencingnya” [Hadits Riwayat Ahmad IV/396,399 dan 414, dan Abu Dawud 3]

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang hendak buang hajat maka hendaklah berlindung (bertabir). Kalau dia tidak mendapatkan tabir (tutup) kecuali dengan cara mengumpulkan pasir (untuk dijadikan tabir), maka hendaknya (dia melakukan itu dan) membelakanginya, karena sesungguhnya syaitan akan main-main dengan tempat duduk Bani Adam. Barangsiapa yang melakukan hal itu, maka itulah yang utama. Sedang barangsiapa yang tidak melakukan hal itu, maka tidak mengapa” [Hadits Riwayat Ahmad II/371, Abu Dawud 35, Ibnu Majah 337]


[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 03/I/Dzulqa’adah 1423H -2002M]
_________
Foote Note.
[1] Apabila seorang tabi’in, yang tentunya tidak bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba, …..” maka yang ia riwayatkan itu dinamakan hadits mursal, yaitu yang dilangsungkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tidak memakai perantara sahabat.




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=685&bagian=0

6. Istinja Dan Adab-Adab Buang Hajat 2/3

 Oleh

Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman

Bagian Kedua dari Tiga Tulisan [2/3]

Pertanyaan.

Bagaimana hukum berbicara ketika kondisi buang hajat dan apa dalilnya?

Jawaban.

Hukumnya adalah sangat makruh (dibenci) kalau tidak terpaksa atau tidak ada keperluan. Adapun dalilnya adalah riwayat dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu dia berkata.

“Artinya : Bahwasanya ada seorang laki-laki lewat ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang buang hajat kecil, lalu laki-laki itu memberi salam kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tetapi beliau tidak menjawab salam tersebut”[Hadits Riwayat Muslim no.370, Abu Dawud no.16, Tirmidzi no. 2720. Nasa’i no. 37 dan Ibnu Majah no. 353]

Dan riwayat dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidaklah dua orang laki-laki keluar bersama untuk buang hajat lalu mereka membuka aurat mereka dan bercakap-cakap, maka sungguh Allah murka atas hal itu” [Hadits Riwayat Ahmad II/36, Abu Dawud 15, dan kami belum menukan di Sunnan Ibnu Majah]

Pertanyaan.

Bagaimana hukum masuk WC dengan membawa sesuatu yang padanya tertulis nama Allah dan apa dalilnya?

Jawaban.

Hukumnya adalah makruh kecuali karena ada hajat. Adapun mushhaf (Al-Qur’an) adalah haram kecuali dalam keadaan terpaksa berdasarkan hadits riwayat dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.

“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan masuk WC beliau melepas cincinnya” [Hadits Riwayat Tirmidzi 1746, Nasa’i 5213, Abu Dawud 19 dan Ibnu Majah 303, dan telah dishahihkan oleh Tirmidzi]

Dan telah shahih bahwa pada cincin beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terpahat kalimat Muhammad Rasulullah.

Pertanyaan.

Bagaimana hukumnya memegang kemaluan dengan tangan kanan dan sebutkan dalilnya ?

Jawaban.

Hukumnya makruh kecuali terpaksa atau karena suatu hajat. Dalilnya adalah hadits marfu’ dari Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Janganlah salah seorang dari kamu memegang kemaluannya dengan tangan kanannya ketika kencing dan janganlah cebok dengan tangan kanannya” [Hadits Riwayat Bukhari 152 dan Muslim 267]

Dan Muslim meriwayatkan dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.

“Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kita menghadap kiblat ketika buang hajat besar atau buang hajat kecil, beristinja (cebok) dengan tangan kanan, beristinja dengan batu yang kurang dari tiga, atau beristinja dengan kotoran binatang (walaupun sudah kering dan bisa meresap) atau tulang” [Muslim no. 262]

Pertanyaan.

Jelaskan hukum bertabir (berlindung) dan menjauh ke tempat yang sunyi bagi orang yang hendak buang hajat dan sertakan dalilnya !

Jawaban.

Hukumnya adalah mustahab (sunnah), sedang dalilnya adalah hadits dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.

“Artinya : Kami keluar dalam satu safar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak buang hajat kecuali bersembunyi dan tidak terlihat” [Hadits Riwayat Ibnu Majah no 335]

Dan dari Abdullah bin Ja’far Radhiyallahu ‘anhu berkata.

“Artinya : Sesuatu yang paling disukai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dipakai bertabir (berlindung) ketika buang hajat adalah (di balik) bukit/gundukan tanah yang tinggi dan pelepah korma” [Hadits Riwayat Muslim 342, Ahmad I/204, dan Ibnu Majah 340]

[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 03/I/Dzulqa’adah 1423H -2002M]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=645&bagian=0

5. Istinja Dan Adab-Adab Buang Hajat 1/3

 Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman.
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan [1/3]


[AL-AS'ILAH WA AL-AJWIBAH-AL-FIQHIYYAH AL-MAQRUNAH BI AL-ADILLAH ASY-SYAR'IYYH]


Pertanyaan.
Apa yang dimaksud dengan istinja ? Bagaimana hukumnya serta apa dalilnya ?

Jawaban.
Istinja adalah membersihkan apa-apa yang telah keluar dari suatu jalan (di antara dua jalan : qubul atau dubur) dengan menggunakan air atau dengan batu atau yang sejenisnya (benda yang bersih dan suci [1]). Adapun hukumnya adalah wajib berdasarkan sebuah hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Apabila salah seorang di antara kamu pergi ke tempat buang hajat besar, maka bersihkanlah dengan menggunakan tiga batu karena sesungguhnya dengan tiga batu itu bisa membersihkannya” [Hadits Riwayat Ahmad VI/108, Nasa’i no. 44, dan Abu Dawud no 40. Dan asal perintah menggunakan tiga batu ada dalam riwayat Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu hadits no. 155]

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu dia berkata.

“Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat buang hajat lalu saya dan seorang pemuda sebaya saya membawakan satu bejana dari air dan satu tombak kecil lalu beliau beristinja (bersuci) dengan air itu” [Hadits Shahih Riwayat Bukhari no. 151 dan Muslim no. 271]


Pertanyaan.
Apa yang dimaksud dengan adab-adab buang hajat, dan doa apa yang disunnahkan dibaca ketika akan masuk WC ?

Jawaban
Maksud dari adab buang hajat adalah apa-apa yang sepatutnya dilakukan ketika buang hajat, ketika akan masuk WC, dan ketika keluar dari WC. Dan disunnahkan membaca doa ketika akan masuk WC sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan masuk WC membaca do’a.

Allahumma innii a’uudzu bika minal-khubusyi wal-khabaaisyi.

“Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari syetan laki-laki dan syetan perempuan” [Hadits Riwayat Bukhari no.142,5963 dan Muslim no.375]

Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan lemah salah seorang di antara kamu apabila masuk WC dari membaca do’a.

Allahumma innii a’uudzu bika min ar-rijsi an-najisi asy-syaithan ar-rajiim

“Artinya : Ya Allah, aku mohon perlindungan-Mu dari kotoran najis syetan yang terkutuk” [Hadits Riwayat Ibnu Majah no. 299]

Dan dari Zaid bin Arqom Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya WC ini telah didiami (oleh syetan), maka apabila salah seorang di antara kamu akan ke WC hendaklah membaca do’a.

‘Auudzu billahi mina-lkhubusyi wal-khabaaisyi

“Artinya : Aku mohon perlindungan kepada Allah dari syetan laki-laki dan syetan perempuan” [Hadits Riwayat Ibnu Majah no. 296]

Pertanyaan.
Doa apa yang disunnahkan dibaca ketika keluar WC ?

Jawaban.
Disunnahkan membaca do’a sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, ‘Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah keluar dari WC beliau membaca do’a’.

Ghufraanaka

“Artinya : Aku mohon ampun kepadaMu”
[Hadits Riwayat Ahmad VI/155, Abu Dawud no.30, Tirmidzi no.7 dan Ibnu Majah no.300]

Begitu pula riwayat dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ‘Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah keluar dari WC beliau membaca do’a’.

Allhamduillahi al-ladzii adzhaba ‘annii al-adzaa wa ‘aafanii.

“Artinya : Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan gangguan (kotoran) dariku dan telah menjadikan diriku dalam keadaan sehat” [Hadits Riwayat Ibnu Majah no. 301]

Dan dalam Mushannaf Abdurrazzaq [2] diriwayatkan bahwa Nuh ketika keluar (dari buang hajat) ia berkata.

“Artinya : Segala puji bagi Allah yang telah memberiku kelezatannya, menyisakan kemanfaatannya, dan menghilangkan gangguan kotorannya”

Pertanyaan.
Terangkan bagaimana tata cara masuk WC, keluar dari WC, dan duduk ketika buang hajat. Mohon sebutkan dalil serta jelaskan dari apa yang Anda ucapkan!

Jawaban.
Ketika masuk WC mendahulukan kaki kiri dan ketika keluar mendahulukan kaki kanan, berlawanan dengan ketika masuk atau keluar masjid dan ketika memakai atau melepas sandal. Ketika duduk hendaklah mengangkat kainnya sedikit saja, bersandar di atas kaki kirinya, dan tidak berdiam (tinggal di WC) kecuali seperlunya saja. Adapun alasan mengapa kaki kiri yang didahulukan ketika masuk dan kaki kanan ketika keluar adalah karena kaki kiri untuk yang kotor dan kanan untuk yang lainnya. Begitu pula, karena kaki kanan itu lebih berhak untuk mendahulukan untuk menuju tempat-tempat yang baik dan lebih berhak untuk diakhirkan apabila menuju tempat-tempat yang kotor. Adapun mengangkat kainnya sedikit demi sedikit itu berdasarkan riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya : Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila ingin buang hajat tidak mengangkat kainnya kecuali setelah dekat dengan tanah (tempat duduknya)” [Hadits Riwayat Abu Dawud no. 14, Tirmidzi no. 14 dan yang lain secara mursal. Abu Dawud berkata, “Hadits ini Dhaif”]

Adapun posisi duduknya bersandar di atas kaki kiri adalah berdasarkan hadits Suraqah bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kami supaya bersandar di atas kaki kiri dan menegakkan kaki kanan” [Hadits Riwayat Thabrani dalam Al-Mu’ajm Al-Kabir VII/136. Kami belum menemukan dalam Sunan Al-Baihaqi. Al-Haitsami berkata, “Di dalam sanadnya terdapat perawi yang tidak disebut namanya (mubham)]

Dan dengan posisi ini kotoran lebih mudah keluar. Adapun tidak boleh berdiam di WC kecuali seperlunya saja karena adanya pendapat dari para dokter yang menyatakan berdiam di WC tanpa seperlunya itu membahayakan yaitu bisa menyebabkan sakit liver dan wasir. Wallahu a’lam, wa Shallallahu a’la Muhammad.

[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 03/I/Dzulqa’adah 1423H -2002M]
_________
Foote Note
[1] Yang Secara hukum dianggap cukup bisa menghilangkan bekas najis
[2] Kami tidak menemukannya dalam Mushannaf Abdurrazzaq, melainkan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah I/12, hadits no.9




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=606&bagian=0

4. Etika Menjadi Majikan

Mukaddimah

Maraknya kasus penyiksaan terhadap para tenaga kerja kita di dalam maupun luar negeri, secara khusus yang bekerja di luar negeri akibat ulah para majikan yang tidak bertanggung jawab perlu pula menjadi perhatian kita secara serius. Sebab, banyak umat Islam yang terlibat di dalamnya baik sebagai pihak yang mempekerjakan ataupun dipekerjakan.

Kami tidak ingin menyoroti permasalahan itu secara lebih spesifik dan tidak pula memasuki wilayah lain, yaitu tentang hukum nakerwan-nya yang bepergian untuk bekerja di luar negeri sana tanpa mahram sebab hal ini sudah sama-sama dimaklumi pada dasarnya.

Dalam kajian ini, sedikit sumbangsih pemikiran mengenai bagaimana permasalahan seperti itu sebenarnya menurut nash-nash Islam, dalam hal ini hadits Rasulullah.

Rasulullah adalah suri teladan kita, karena itu sebenarnya kejadian-kejadian seperti itu tidak akan pernah terjadi oleh para majikan (pihak yang mempekerjakan yang beragama Islam) bilamana mereka mengetahui ajaran agama dengan baik, khususnya terkait dengan hal itu.

Untuk itulah, dalam kajian ini, kami ketengahkan sedikit hadits dan bahasan singkat mengenainya, semoga saja bermanfa’at bagi kita semua dan menjadi amal jariah penulis. Wallahu a’lam…

Naskah Hadits

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا أَتىَ أَحَدَكُمْ خَادِمُهُ بِطَعَامِهِ فَإِنْ لَمْ يُجْلِسْهُ مَعَهُ فَلْيُنَاوِلْهُ لُقْمَةً أَوْ لُقْمَتَيْنِ . متفق عليه واللفظ للبخاري

Dari Abu Hurairah RA., dari Nabi SAW., (beliau bersabda), “Jika pelayan salah seorang di antara kamu membawakan makanan untuknya; maka jika tidak mengajaknya duduk bersamanya, cukup memberinya satu suap atau dua suap.” (Hadits ini disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim, dan lafazh ini berasal dari shahih al-Bukhari)

Penjelasan Global

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, at-Turmudzy dan Abu Daud dengan redaksi yang tidak berbeda jauh.

Imam al-Bukhari memuat hadits ini di dalam bab: “Bila pelayan salah seorang di antara kamu membawakan makanan untuknya.”

Sedangkan Imam Muslim memuatnya di dalam bab: “Memberi makan hamba (sekarang: pelayan)” dengan lafazh, “Bila pelayan salah seorang di antara kamu membuatkan makanan untuknya, kemudian dia membawanya padahal ia sudah merasakan panas dan asapnya; maka hendaklah dia mengajaknya duduk bersamanya, lalu makan. Jika makanannya sedikit, maka hendaklah dia menaruh di tangannya (pelayan) satu suap atau dua suap.”

Di dalam bab itu juga terdapat hadits-hadits lain yang bernuansa sama dengan hal itu, yakni perlakuan seorang tuan terhadap pembantunya (dulu budak). Dalam hal ini, beliau (Imam Muslim) memuat juga hadits mengenai Abu Dzarr yang membalas umpatan seseorang -yang kebetulan seorang budak- terhadapnya dengan mengumpati juga kedua orangtuanya di mana ibunya adalah seorang wanita asing. Ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi SAW., beliau mencela dan mengecam tindakan Abu Dzarr ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya, engkau ini seorang yang masih memiliki fanatisme Jahiliyyah.”

Di antaranya lagi, hadits yang berbunyi, “Seorang budak memiliki (hak) makan dan pakaian, dan hendaknya dia tidak dibebani suatu pekerjaan kecuali sesuai dengan kemampuannya.”

Imam at-Turmudziy juga memuat hadits mengenai hal ini di dalam kitabnya Sunan at-Turmudzy dengan lafazh yang tidak jauh berbeda dengan riwayat Imam Muslim. Di dalam bab: “Hadits-hadits mengenai makan bersama budak dan keluarga.” Di dalamnya terdapat tambahan,- setelah kalimat, maka hendaklah dia mengajaknya duduk bersamanya, yaitu bila dia menolak, maka …”

Mengenai makna “sesuap atau dua suap…” Ibn Hajar berkata –sebagai dinukil oleh pengarang buku “Tuhfah al-Ahwadziy”-, “kata penghubung “atau” maksudnya adalah pembagiannya, yaitu disesuaikan dengan kondisi makanan dan pembantunya.” (artinya, bila makanannya banyak maka dikasih banyak, demikian juga, bila pembantunya banyak makan, maka dikasih lebih banyak-red.,)

Pengarang buku tersebut juga mengatakan, “Di dalam hadits riwayat Imam Muslim terdapat persyaratan, yaitu bilamana makanan (yang diberikan kepada majikan-red.,) itu hanya sedikit…artinya, bilamana makanannya banyak; maka si majikan itu boleh mengajaknya duduk bersamanya (untuk makan) atau memberikannya bagian yang lebih banyak.”

Beberapa Pesan Hadits

Di antara pesan hadits tersebut:

1. Anjuran agar berakhlaq mulia dan saling mengajak (mengundang) di dalam urusan makanan apalagi terhadap orang yang membuat atau membawanya sebab dia merasakan panas dan asapnya, bernafsu juga terhadapnya serta mencium baunya. Hal ini semua (hadits terkait dengan itu) hukumnya dianjurkan.

2. Di antara petunjuk Islam adalah persamaan hak antara si kaya dan si miskin, si kuat dan lemah, si terhina dan bermartabat sehingga tidak boleh ada kelas-kelas ataupun rasialisme. Semua orang beriman pada prinsipnya adalah bersaudara.

3. Islam menganjurkan akhlaq mulia seperti itu agar masyarakat Islam menjadi satu kesatuan umat, adapun kemudian terkait dengan masalah pekerjaan dan bakat, maka semua itu tergantung kepada anugerah yang telah diberikan Allah kepada masing-masing. Pekerja kecil bila dia telah menjalankan pekerjaannya, maka sama seperti pekerja besar. Jadi, masing-masing saling melengkapi.

4. Sebaiknya, tuan rumah mengajak makan pembantu, budak dan tamu-tamu kecilnya bersama-sama. Karena itu, tidak boleh dia merasa lebih tinggi derajatnya dan sombong dengan tidak mau makan atau bergaul bersama mereka. Hendaklah hal itu dilakukan dengan jiwa yang suci dan rasa malu yang tinggi. (Ahs)

REFERENSI:

- Shahih al-Bukhariy

- Shahih Muslim dan Syarahnya, Syarh an-Nawawy

- Sunan at-Turmudziy dan syarahnya, Tuhfah al-Ahwadziy

- Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm karya Syaikh. ‘Abdullah al-Bassâm

3. Etika Memakai Sandal Dan Sepatu

Mukaddimah

Islam adalah satu-satunya agama yang banyak sekali memperhatikan aspek akhlaq dan etika, dari hal yang sebesar-besarnya hingga sekecil-kecilnya. Oleh karena itu, pantaslah pula apa yang dikatakan 'Aisyah radliyallâhu 'anha ketika ditanya tentang akhlaq Rasulullah bahwa akhlaq beliau adalah al-Qur'an.

Bila kita mengamati kandungan al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi, maka sangat sulit kita untuk tidak mengatakan bahwa di dalamnya selalu terkait dengan akhlaq dan etika itu.

Salah satu hal yang nampaknya sepele tetapi besar artinya yang diberikan perhatian oleh Islam adalah masalah etika memakai sandal atau sepatu.

Nah, apa urgensinya? Bagaimana etikanya?…Pada kajian kali ini, kita akan membahasnya, Insya Allah.

Naskah Hadits

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيَمِيْنِ, وَإِذَا انْتَزَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ, لِتَكُنِ الْيُمْنَى أَوَّلَهُمَا تُنْعَلُ, وَآخِرَهُمَا تُنْزَعُ. رواه البخاري

Dari Abu Hurairah radliyallâhu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Bila salah seorang diantara kamu memakai sandal, maka hendaklah dia memulainya dengan kaki kanan dan bila dia melepasnya, maka hendaklah dia memulainya dengan kaki kiri. Jadikanlah kaki kanan yang pertama dari keduanya dipakai dan yang terakhir dari keduanya yang dilepas (dicopot)." (HR.Bukhari)

Kandungan Hadits

    Terdapat hadits yang diriwayatkan 'Aisyah di dalam kitab ash-Shahîhain bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sangat suka menganan (memakai dengan memulai yang kanan), baik ketika memakai sandal atau sepatu (atau sandal dan yang semaknanya), menyisir, bersuci dan seluruh urusannya. Beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam senantiasa memulai dengan kanan dan mendahulukannya terhadap sesuatu yang baik dan mengakhirkannya terhadap yang selain itu. bila memakai sandal, beliau mendahulukan kaki kanan; bila memakai pakaian, beliau mendahulukan sebelah kanan dan bila masuk masjid, beliau mendahulukan kaki kanan.
    Beliau mendahulukan yang kiri untuk selain hal itu; ketika masuk WC, keluar dari Masjid, melepas kedua sandal, pakaian dan semisalnya.
    Beliau mengkhususkan yang kanan di dalam makan, minum, berjabat tangan dan mengambil sesuatu yang baik. Dan beliau mengkhususkan yang kiri terhadap kotoran dan sesuatu yang tidak disukai. Inilah sunnah Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang beliau sukai dan senang melakukannya.
    Di dalam masalah thaharah (bersuci), beliau mendahulukan untuk mencuci tangan kanan dan kaki kanan. Ketika mencukur di dalam manasik haji, beliau mendahulukan bagian sebelah kanan dari kepalanya atas bagian kirinya, demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.
    Menurut syari'at, akal dan estetika bahwa mendahulukan yang kanan terhadap sesuatu yang baik dan mengkhususkannya serta mengkhususkan yang kiri terhadap sesuatu yang tidak disukai adalah lebih utama. Oleh karena itu, kaidah syari'at yang kemudian diambil dari sunnah beliau Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam adalah mendahulukan yang kanan terhadap setiap sesuatu yang pernah beliau lakukan dalam rangka memuliakan beliau dan yang selain itu, dianjurkan untuk memulainya dengan yang kiri.
    Ibn al-'Arabi (bukan Ibn 'Arabi, tokoh Sufi yang sesat-red.,) berkata, "Memulai dengan yang kanan disyari'atkan terhadap semua amal shalih karena keutamaannya secara estetika lebih kuat dan secara syari'at lebih dianjurkan untuk mendahulukannya."
    al-Hulaimi berkata, "Sesungguhnya memulai dengan yang kiri ketika melepas (sandal atau sepatu-red.,) karena memakai itu adalah suatu kehormatan dan juga karena ia (dalam posisi) menjaga (melindungi). Manakala yang kanan lebih mulia dan terhormat daripada yang kiri, maka dimulailah dengannya ketika memakai dan dikemudiankan ketika melepas (mencopot) sehingga kehormatannya tetap ada dan jatahnya dari hal itu lebih banyak."

(SUMBER: Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, karya Syaikh.'Abdullah al-Bassam, jld.VI, h.233-234)

2. Adab Buang Hajat 2/2

Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]



Pertanyaan.
Sebutkan benda apa saja yang tidak boleh dipergunakan untuk ber-istijmar dan sertakan dalilnya!

Jawaban.
Haram bersuci dengan tulang, kotoran binatang, makanan, dan segala sesuatu yang dimuliakan. Dalilnya adalah hadits berikut.

Hadits dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.

“Artinya : Rasuulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang bersuci dengan tulang atau kotoran binatang” [Hadist Riwayat Ahmad III/336,343, 384. Muslim no. 263, Abu Daud no. 38]

Hadits dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kami untuk bersuci dengan tidak kurang dari tiga batu, tanpa memakai kotoran binatang dan tulang” [Hadits Riwayat Ahmad V/437, 438, Ibnu Majah no. 316. Dan lihat Shahih Muslim no. 262]

Dan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dia berkata.

“Artinya : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang beristinja dengan kotoran binatang atau tulang. Beliau bersabda. ‘Sesungguhnya kedua-duanya tidak bisa mencucikan” [Hadits Riwayat Ad-Daruquthni no. 9, beliau berkata, ‘Sanadnya Shahih]

Adapun dalil tentang pengharaman istijmar dengan sesuatu yang dimuliakan seperti buku-buku fiqih atau hadits adalah karena perbuatan menggunakan kertas yang berisi tulisan tentang fiqih atau hadits untuk istijmar itu termasuk penghinaan dan pelecehan syariat. Oleh karena itu, keharamannya lebih utama dibandingkan dengan keharaman memakai kotoran binatang atau tulang.

Adapun dalil tentang pengharaman bersuci dengan memakai makanan adalah hadits riwayat Muslim [1] dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Janganlah kalian bersitinja’ dengan memakai kotoran binatang atau dengan tulang karena sesungguhnya tulang itu makanan saudara kamu dari kalangan jin”

Dari hadits ini bisa diambil kesimpulan bahwa keharaman ber-istijmar menggunakan makanan kita (manusia) itu lebih utama daripada keharaman menggunakan makanan jin (tulang).


Pertanyaan.
Bagaimana hukumnya mencukupkan diri hanya menggunakan salah satu dari dua cara ber-istinja, yaitu hanya menggunakan air saja atau hanya dengan batu saja (ber-istijmar) ? Bagaimana pula kalau kedua-duanya dilakukan ?

Jawaban.
Boleh mencukupkan diri hanya menggunakan salah satu dari kedua cara tersebut. Akan tetapi, bersitinja dengan mengunakan air itu lebih utama. Dan seandainya kedua cara itu dilakukan bersamaan, yaitu disamping mengunakan air juga menggunakan batu, maka itu lebih utama daripada menggunakan air saja. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Artinya : Ayat berikut ini turun dimaksudkan kepada penduduk Quba, “Di dalam (masjid Quba) ada orang-orang yang suka bersuci (dengan menggunakan air) dan Allah mencintai orang-orang yang bersuci (dengan menggunakan air)”. Rasulullah bersabda, “Mereka (penduduk Quba) beristinja dengan menggunakan air ; maka ayat ini turun dimaksudkan untuk mereka”[Hadits Riwayat Abu Daud no.43, At-Tirmidzi no. 3100, Ibnu Majah no. 357. Lihat Shahih Abu Daud I/11 no.34 dan Shahih Ibnu Majah I/63 no. 268]

Al-Bazzar juga telah meriwayatkan hadits ini di dalam Musnad-nya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dengan lafal.

“Artinya : Ayat berikut ini turun dimaksudkan kepada penduduk Quba, “Di dalam (masjid Quba) ada orang-orang yang suka bersuci (dengan menggunakan air) dan Allah mencintai orang-orang yang bersuci (dengan menggunakan air)”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan kepada mereka, mereka menjawab, “Kami (dalam bersuci dari buang air) menggunakan batu terlebih dahulu kemudian setelah itu baru menggunakan air”[2]


[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 04/I/Dzulqa’adah 1423H -2003M]
_________
Foote Note.
[1] Hadits no. 450. Dan lihat Al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim no. 966
[2] Kami belum menemukannya dalam Musnad Al-Bazzar. Namun Al-Haitsami telah menyebutkannya dalam Majam Az-Zawaid I/212, lalu beliau (Al-Haitsami) mengatajan bahwa dalam sanadnya ada perawi bernama Muhammad bin Abdul Aziz bin Umar Az-Zuhri yang didhaifkan (dilemahkan) oleh Bukhari, An-Nasa’i dan yang lain. Lihat pula Tamamul Minnah hal.65




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=mo re&article_id=751&bagian=0

1. Adab Buang Hajat 1/2

Oleh
Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]



Pertanyaan.
Tolong jelaskan hukum menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat berserta dalilnya. Jelaskan pula tentang perbedaan pendapat di antara ulama dalam masalah ini dan mana yang benar (rajih) ?


Jawaban.
Ada dua pendapat mengenai masalah ini.


Pendapat Pertama.
Menyatakan keharamannya, baik dilakukan di dalam bangunan (WC) ataupun diluar bangunan , berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Artinya : Apabila salah seorang diantara kalian duduk untuk buang hajat, maka janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya” [Hadits Riwayat Muslim no. 265 dan ini lafalnya, dan Ahmad V/414,417, 421]

Begitu pula hadits dari Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Artinya : Apabila kalian datang ke tempat buang hajat, maka janganlah kalian menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat besar atau kecil, tetapi menghadaplah ke Timur atau ke Barat..” [1]

Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu berkata, “(Ketika) kami sampai di Syam lalu kami mendapati WC-WC di sana di bangun dengan posisi menghadap Ka’bah, maka kami pun menyerongkan posisi duduk dan kami pun beristighfar (mohon ampun) kepada Allah” [Bukhari no. 386 dan Muslim no 264]

Muslim no. 262 meriwayatkan dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh-sungguh telah melarang kami menghadap kiblat ketika buang hajat besar dan kecil”.


Pendapat Kedua.
Menyatakan bahwa harus dibedakan antara buang hajat di dalam bangunan (WC) dengan di tempat yang terbuka. Diharamkan menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat di tempat terbuka dan dibolehkan ketika berada di dalam bangunan (WC) berdasarkan hadits berikut.

Hadits Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.

“Artinya : Pada suatu hari aku naik ke atas rumah Hafshah lalu terlihat olehku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang buang hajat dengan menghadap ke Syam dan membelakangi Ka’bah” [Hadits Riwayat Jama’ah] [2]

Hadits dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata.

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kencing menghadap kiblat, akan tetapi setahun sebelum beliau wafat aku melihat beliau kencing menghadap kiblat” [Hadits Riwayat Lima kecuali Nasa’i] [3]

Dan hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Disampaikan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada sebagian orang (sahabat) tidak suka menghadapkan kemaluan mereka ke arah kiblat, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Atau banar-benara mereka telah melakukan hal itu. Maka ubahlah tempat duduk-ku (di WC) dengan menghadap kiblat” [Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah] [4]

Begitu pula hadits dari Marwan Al-Ashfar, dia berkata, “Aku melihat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu menderumkan (mendudukkan) untanya menghadap kiblat lalu beliau kencing sedang beliau juga menghadap kiblat, maka aku bertanya, ‘Wahai Abu Abdurrahman, bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal itu ?’ Beliau menjawab, ‘Memang betul, tetapi beliau melarang hal itu (dilakukan) di tanah yang lapang. Kalau di antara kamu dan kiblat itu ada sesuatu yang menutupi, maka tidak mengapa” [Hadist Riwayat Abu Daud no 11. Lihat Shahih Abu Daud no.8]

Adapun pendapat yang rajih (benar) menurut saya (Syaikh Abdul Aziz Al-Muhammad As-Salman) adalah mengamalkan hadits Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu karena itu yang lebih berhati-hati, yaitu menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat besar atau kecil di dalam bangunan atau di luar bangunan (tempat terbuka) adalah haram.

[Pendapat in juga telah dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu Al-Qayyim menjelasakan bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (buang hajat dengan menghadap kiblat) adalah merupakan kekhususan beliau. Disamping itu, ada kaidah yang berbunyi, “Apabila bertentangan antara ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perbuatan beliau, maka yang didahulukan adalah ucapannya”. Contoh yang lain adalah beliau membatasi umatnya menikah tidak boleh lebih dari empat (yaitu lewat ucapannya), padahal beliau sendiri menikah dengan sembilan wanita (dan ini adalah perbuatannya), maka yang didahulukan adalah ucapannya]


[Disalin dari kitab Al-As’ilah wa Ajwibah Al-Fiqhiyyah Al-Maqrunah bi Al-Adillah Asy-Syar’iyyah jilid I, Disalin ulang dari Majalah Fatawa 04/I/Dzulqa’adah 1423H -2003M]
_________
Foote Note.
[1] Di Indonesia, menghadap ke Utara dan Selatan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hadits ini di Madinah yang kiblatnya (Ka’bah) ada di arah Selatan, -Red
[2] Bukhari no. 147 dan 2935, Muslim no.266, Abu Daud no.12, At-Tirmidzi no.11, An-Nasa’i no. 23, Ibnu Majah no. 322, Ahmad II/12,13, Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 456 dan Ad-Darimi I/179
[3] Ahmad II/360, Abu Daud no.13 At-Tirmidzi no.9 dan Ibnu Majah no 324. Lihat Shahih Abu Daud no. 10 dan Shahih Ibnu Majah no. 261
[4] Ahmad VI/219,227, Ibnu Majah no.324, Lihat Dha’if Ibnu Majah no. 68 dan Adh-Dhaifah no.947

Jumat, 17 Januari 2014

Imam An-Nawawi Seorang yang Alim dan Penasehat



Nasab Imam an-Nawawi

Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i
Kata ‘an-Nawawi’ dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama ‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau.

Beliau dianggap sebagai syaikh (soko guru) di dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqih terkenal pada zamannya.

Kelahiran dan Lingkungannya

Beliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan ‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana.

Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan ‘al-Qira`ah’.
Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian mengantarkannya kepada ayahnya dan menase-hati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasehat ini.

Pada tahun 649 H, an-Nawawi, dengan diantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar-Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur.
Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.

Pengalaman Intelektualnya

Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi ‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat.

Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:

Pertama, Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga Menginjak Remaja
Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal.
Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah.

Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy-Syairazi.
Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.

Ke dua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya
Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita, “Pertama beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya; ke dua, pelajaran terhadap kitab ‘al-Wasith’, ke tiga terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’, ke empat terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’, ke lima terhadap kitab ‘Shahih Muslim’, ke enam terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu, ke tujuh terhadap kitab ‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa), ke delapan di dalam ilmu Sharaf, ke sembilan di dalam ilmu Ushul Fiqih, ke sepuluh terkadang ter-hadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab ‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy, ke sebelas di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’, ke duabelas di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.

Ke tiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis
Beliau telah interes (berminat) terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an.

Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan-nya di dalam memaparkan pendapat-pendapat Fuqaha‘.

Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam.

Di antara karya-karya tulisnya tersebut adalah ‘Syarh Shahih Muslim’, ‘al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab’, ‘Riyadl ash-Shalihin’, ‘ al-Adzkar’, ‘Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat’ ‘al-Arba’in an-Nawawiyyah’, ‘Rawdlah ath-Thalibin’ dan ‘al-Minhaj fi al-Fiqh’.

Budi Pekerti dan Sifatnya

Para pengarang buku-buku ‘biografi’ (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahwa Imam an-Nawawi merupakan ujung tombak di dalam sikap hidup ‘zuhud’, teladan di dalam sifat wara’ serta tokoh tanpa tanding di dalam ‘menasehati para penguasa dan beramar ma’ruf nahi munkar’.
·         Zuhud
Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.

Di antara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup ‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya.

 
·         Wara’
Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana.

Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah.
Beliau tidak pernah mau menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Yaitu, orang yang membawanya haruslah sosok yang sudah beliau percayai diennya.

Beliau juga tidak mau menerima sesuatu, kecuali dari kedua orangtuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya.

Ketika berada di al-Madrasah ar-Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mau tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mau diistimewakan atau diberikan fasilitas yang lebih dari itu.

 
·         Menasehati Penguasa dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Pada masanya, banyak orang datang mengadu kepadanya dan meminta fatwa. Beliau pun dengan senang hati menyambut mereka dan berupaya seoptimal mungkin mencarikan solusi bagi permasalahan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus penyegelan terhadap kebun-kebun di Syam.

Kisahnya, suatu ketika seorang sultan dan raja, bernama azh-Zhahir Bybres datang ke Damaskus. Beliau datang dari Mesir setelah memerangi tentara Tatar dan berhasil mengusir mereka. Saat itu, seorang wakil Baitul Mal mengadu kepadanya bahwa kebanyakan kebun-kebun di Syam masih milik negara. Pengaduan ini membuat sang raja langsung memerintahkan agar kebun-kebun tersebut dipagari dan disegel. Hanya orang yang mengklaim kepemilikannya di situ saja yang diperkenankan untuk menuntut haknya asalkan menunjukkan bukti, yaitu berupa sertifikat kepemilikan.

Akhirnya, para penduduk banyak yang mengadu kepada Imam an-Nawawi di Dar al-Hadits. Beliau pun menanggapinya dengan langsung menulis surat kepada sang raja.
Sang Sultan gusar dengan keberaniannya ini yang dianggap sebagai sebuah kelancangan. Oleh karena itu, dengan serta merta dia memerintahkan bawahannya agar memotong gaji ulama ini dan memberhentikannya dari kedudukannya. Para bawahannya tidak dapat menyembunyikan keheranan mereka dengan menyeletuk, “Sesung-guhnya, ulama ini tidak memiliki gaji dan tidak pula kedudukan, paduka !!”.

Menyadari bahwa hanya dengan surat saja tidak mempan, maka Imam an-Nawawi langsung pergi sendiri menemui sang Sultan dan menasehatinya dengan ucapan yang keras dan pedas. Rupanya, sang Sultan ingin bertindak kasar terhadap diri beliau, namun Allah telah memalingkan hatinya dari hal itu, sehingga selamatlah Syaikh yang ikhlas ini. Akhirnya, sang Sultan membatalkan masalah penyegelan terhadap kebun-kebun tersebut, sehingga orang-orang terlepas dari bencananya dan merasa tentram kembali.
Wafatnya

Pada tahun 676 H, Imam an-Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus.
Di sana beliau sempat berziarah ke kuburan para syaikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sembari menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke ‘Nawa’.
Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq pada tanggal 24 Rajab pada tahun itu. Di antara ulama yang ikut menyalatkannya adalah al-Qadly, ‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya.
Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin.


(Diambil dari pengantar kitab Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyadl ash-Shalihin karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin, et.ali, Jld. I, tentang biografi Imam an-Nawawiy).
(Abu Hafshoh)